Sabtu, 28 Maret 2009

Perkembangan Televisi di Indonesia

TELEVISI (TV) yg sering disebut sbagai kotak ajaib, telah memberi pengaruh (negatif & positif) bagi kehidupan umat manusia. Televisi dengan kekuatannya menciptakan dunia yang tidak berjarak. Olehnya, dominasi wilayah dlm ranah politik menjadi tidak bermakna apa2. Walau tak berada di Amerika, kita bisa menyaksikan riuhnya suasana politik di sana tanpa ada yg bisa melarang. Berkat TV, kita sperti memiliki ikatan kultural dan bersimpati dgn salah seorang calon presiden di Amerika, hanya karena yg bersangkutan pernah menetap di Indonesia.


TV juga menjadi tutor yg andal dlm membentuk watak & perilaku manusia. Anak kecil yg tidak tahu cara berkelahi karna sering melihat acara gulat di TV jadi mahir ketika berkelahi dgn temannya. TV juga mampu menghipnotis ksadaran pemirsa sehingga terlupa dari kenyataan yg dialaminya. Anggota masyarakat yg sedang didera rasa lapar ketika berpuasa seolah lupa ketika menyaksikan infotainment di TV. Itulah berbagai kekuatan yg TV miliki. TV menjadi bagian yg tak terpisahkan dari khidupan umat manusia di dunia.

TV di Indonesia

Indonesia patut bersyukur pernah dipimpin seorang pemimpin yg visioner, sang penyambung lidah rakyat. Dialah putra sang fajar, Soekarno. Di bawah kepemimpinannya, upaya pengenalan & memasyarakatkan TV sbagai jendela informasi mulai dikembangkan. Projek ini dimulai ketika Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games IV. Pembangunan stasiun TV berikut pemancarnya dilakukan untuk meliput kegiatan tsb. Tanggal 25 Juli 1961 merupakan momen bersejarah. Menteri Penerangan atas nama pemerintah mengeluarkan SK Menpen No.20/SK/M/1961 tentang Pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T). Inilah cikal bakal berdirinya TVRI di Indonesia.

Tanggal 17 Agustus 1962, TV negara yg kmudian bernama TVRI mulai mengudara untuk yang pertama kalinya. Siaran pertama kali ini diisi dgn siaran percobaan dari halaman Istana Merdeka Jakarta yg meliput acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yg ke-17. Pada 24 Agustus 1962, TVRI bersiaran secara resmi & siaran yg dipancarluaskannya adalah siaran langsung upacara pembukaan SEA Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno. TVRI kemudian disempurnakan badan hukumnya oleh negara dgn menerbitkan Keppres No.215/1963 tentang Pembentukan Yayasan TVRI dgn Pimpinan Umum Presiden RI, tanggal 20 Oktober 1963.

Selanjutnya, Orde Baru bertekad menciptakan pembangunan ekonomi yg kuat & kehidupan politik yg terkontrol. TVRI di bawah kekuasaan orde ini ditempatkan menjadi mikrofon penyampai aspirasi pemerintah. Acara yg ditayangkan TVRI harus disesuaikan dgn norma, kehendak & sistem nilai yg diproduksi rezim. Walaupun di permukaan kehidupan tampak tenang, di balik itu sesungguhnya rakyat merasa tertekan. Ketenangan yg tampak merupakan ketenangan yg dihasilkan dari teror. Seniman yg bisa muncul di layar TVRI hanya seniman yg berafiliasi scara politik dengan rezim. Bagi yg berseberangan jangan harap bisa muncul di TVRI. Kita mungkin masih ingat dgn kasus pelarangan Rhoma Irama bernyanyi di TVRI.

Di akhir ’80-an, ketika projek modernisasi yg diterapkan rezim mulai menampakkan hasil, di Indonesia mulai byk anggota masyarakat yg terdidik, hal ini telah memunculkan lapisan baru di masyarakat Indonesia, yakni kelas menengah. Kelas ini mulai merasa jenuh dgn tayangan yg diproduksi TVRI yg menjadi partisan rezim. Kelas ini mulai menuntut keberagaman isi.

Pemerintah mengakomodasi keinginan publik yg disuarakan kelas menengah ini. Pada 28 Oktober 1987, pemerintah melalui Departemen Penerangan c.q. Direktur Televisi/Direktur Yayasan TVRI memberikan izin prinsip kepada RCTI untuk memulai siaran dgn No.557/DIR/TV/1987. Itu pun harus menggunakan dekoder. Baru pada 1 Agustus 1990 dgn izin prinsip Dirjen RTF No.1217D/RTF/K/VIII/1990, RCTI bersiaran tanpa dekoder.

Di Surabaya, pemerintah juga memberi izin kepada SCTV. Izin prinsip kepada SCTV diberikan Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF dengan No.415/RTF/IX/1989.

Pemerintah memberikan izin kpada TPI pada 1 Agustus 1990 dengan izin siaran nasional. Izin prinsipnya dikeluarkan Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF dengan No.1271B/RTF/K/VIII/1990. TPI dalam memancarluaskan siarannya memanfaatkan antena transmisi & fasilitas yg dimiliki TVRI di daerah. Itu karna TPI merupakan TV yg dikelola Siti Hardiyanti Rukmana/biasa disapa Mbak Tutut.

ANTV ikut meramaikan siaran TV Indonesia sejak diberikan izin prinsip No.2071/RTF/K/1991 pada 17 September 1991. Siarannya dimulai di Lampung. Baru pada 30 Januari 1993, dgn izin prinsip Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF No. 207RTF/K/I/1993 Anteve bersiaran scara nasional.

Sementara itu, Indosiar mengudara dgn izin prinsip dari Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF dengan No. 208/RTF/K/I/1993, sbagai penyesuaian atas izin prinsip pendirian No.1340/RTF/K/VI/1992, tanggal 19 Juni 1992.

Shingga pada 1992, ada lima TV yg bersiaran nasional. Barulah pada 1998 pemerintah melalui Keputusan Menteri Penerangan No. 84/SK/Menpen/1998 mengizinkan berdirinya lima TV baru, yakni Metro TV, Lativi, TV7, Trans TV & Global TV.

Walaupun pemerintah mengizinkan pendirian TV swasta, bukan berarti siapapun dibebaskan untuk memilikinya. Yg bisa menjadi pemilik TV tetaplah mereka yg menjadi bagian dari klik kekuasaan. Barulah ketika reformasi terjadi di Indonesia pada 1998, benteng pertahanan rezim jebol. TV beramai-ramai menyuarakan aspirasi masyarakat & menguliti kebusukan rezim.

TV di masa reformasi

Jatuhnya Soeharto berikut orde yg dibangunnya telah membawa perubahan besar di dunia pertelevisian Indonesia. Yg berkuasa atas siaran TV bukan lagi pemerintah & aparatusnya tetapi bergeser ke pemilik modal. Merekalah yg menentukan format dan isi siaran yg akan ditayangkan TV. Para pemilik modal ini berorientasi pada akumulasi modal & cenderung abai pada kepentingan publik. Mereka tak pernah mau peduli apakah siaran yg diproduksi TV bermanfaat/tidak, yg penting bagi mereka siaran itu menghasilkan uang.

Tidak hanya itu. Pada masa reformasi, terjadi pertumbuhan TV di daerah yg begitu pesat, yg disebut TV lokal. Pertumbuhannya merata di berbagai daerah. Di Jawa Timur ada JTV. Di Medan ada Deli TV. Di Bandung ada Bandung TV, Padjadjaran TV, dan STV. Di Bali ada Bali TV. Di Batam ada Batam TV. Di Makassar ada Makassar TV. Ini semua terjadi karna adanya demokratisasi penyiaran & demokratisasi pengelolaan frekuensi. Pemilik TV tidak lagi menjadi dominasi klik istana tetapi telah menyebar ke berbagai klompok ekonomi di masyarakat. Dgn adanya fenomena ini keberagaman isi menjadi ada.

Pada masa reformasi, muncul desakan kuat dari masyarakat di daerah yang menuntut kedaulatan daerah di ranah penyiaran. Desakan itu mewujud pada tuntutan agar TV menjadi berjaringan, tidak lagi sentralistik dan dikendalikan dari Jakarta. Pemerintahpun mengakomodasi keinginan ini. UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi penanda kemenangan publik. Dlm UU ini, tak lagi dikenal istilah TV nasional, yg dikenal adalah TV local/TV berjaringan. Nah, bgaimana perkembangan TV di Indonesia selanjutnya? Kita tunggu & saksikan bersama. Sejarah yg akan mewartakan pada kita bgaimana perkembangannya

17 September 2008 by Hernoe


Kondisi Pertelevisian Indonesia Kini

Ketika saya berada di Australia untuk mengikuti pendidikan selama kurang lebih 4 bulan, saya mendapat kesulitan dalam hal “Pengetahuan Umum”. Di sana mata saya terbuka bahwa pengetahuan saya akan hal-hal yang terjadi di dunia ini sangat sangat minim. Saya memiliki beberapa teman dari beberapa negara tetangga termasuk Vietnam. Banyak hal yang saya kagumi dari mereka. Terutama dalam hal pengetahuan umum dan teknologi. Mereka tahu banyak hal. Walaupun dalam kemampuan berbahasa Inggris boleh dibilang kita sebagai orang Indonesia bisa berbangga diri karena tidak kalah dengan mereka, namun ketika membicarakan pengetahuan umum kita kalah jauh, paling tidak itulah yang saya rasakan.

Di sana saya belajar banyak hal. Mencari informasi dari televisi dan internet. Di sanalah saya mengetahui Global Warming (pada waktu itu di Indonesia belum terdengar gaungnya), mengetahui tentang penyakit AIDS dan macam-macam topik lainnya. Setelah kembali ke Indonesia, saya menonton televisi. Saya baru menyadari, sangat sedikit tayangan yang menampilkan berita dunia. Semua penuh dengan berita dalam negeri. Mulai dari politik sampai infotainment. Tayangan film pun hampir semuanya produk lokal. Sinetron, talk show, musik, liputan-liputan mayoritas terjadi dan diproduksi di dalam negeri.

Suatu hari saya chatting dengan teman saya dari Vietnam, layaknya teman lama kami mengobrol mengenai banyak hal. Ketika dia mengajak berbicara tentang berita terkini dunia, saya tidak bisa banyak bicara. Padahal waktu itu topiknya tidak telalu jauh melenceng, yakni tentang pemilihan perdana menteri Australia yang baru. Saya segera mencari-cari berita itu di internet, supaya bisa sedikit menanggapi obrolannya.

Saya kembali mengamati televisi. Ya ampun, di mana saya harus mencari berita itu? Beberapa saluran TV saya pencet bergantian namun tidak juga mendapatkan yang saya inginkan. Pada waktu-waktu biasanya berita ditayangkan, saya segera menonton dengan seksama. Semua berita lokal. Berita dunia hanya sekilas. Hanya kurang dari 20% berita dalam negeri. Berita yang memuat berita dunia pun hanya ada di stasiun televisi tertentu yang notabene-nya adalah stasiun TV berita.

Pikiran saya langsung melayang ke generasi muda negeri ini. Bagaimana mereka mendapatkan berita-berita yang terjadi di dunia ini? TV Kabel? Tidak semua rumah dapat berlangganan TV Kabel. Internet? Tidak semua orang dapat menikmati internet dengan mudah. Saya contohnya, kalau mau menikmati internet di rumah, harus memikirkan biaya lumayan besar yang dikeluarkan tiap bulan. Untungnya di kantor saya tersedia wireless network sehingga saya bisa mengakses internet pada jam kantor. Bagaimana dengan warnet? Tidak semua orang dapat merasa nyaman berlama-lama di warnet. Selain karena faktor kenyamanan, biaya, juga soal waktu. Bagaimana dengan anak-anak sekolah? Akankah mereka ke warnet untuk mencari berita? Mungkin ya, tapi sangat sedikit jumlahnya. Sebagian mereka hanya pasrah menerima berita dari televisi di rumah. Itupun tidak banyak. Karena waktu-waktu penayangan berita semakin sedikit saja. Coba saja lihat tayangan televisi pada saat prime time. Hampir semua menayangkan sinetron kejar tayang. Kalau keadaan terus seperti ini, bagaimana kita dapat bersaing dengan orang luar? Jangankan bersaing, mengobrol saja juga tidak berani.

Selain berita, film dan musik luar negeri juga menghilang dari stasiun televisi kita. Betapa inginnya saya menyaksikan film-film luar yang nuansanya berbeda dengan film dalam negeri. Saya juga ingin sekali mendengar pemain-pemain film itu berbicara dengan bahasa aslinya. Dengan menonton film seperti itu juga dapat melatih pendengaran kita akan suatu bahasa, bahasa Inggris atau Mandarin misalnya. Ada satu atau dua stasiun televisi yang terkadang menayangkan film luar negeri namun sayang sekali, film-film itu semua sudah dialih-bahasakan.

Terkadang ada stasiun televisi yang menayangkan film-fim barat. Namun, jam tayangnya di atas jam 9 malam. Film-film yang ditayangkan pun sudah kadaluwarsa. Ada yang baru pertama kali ditayangkan, ada pula yang sudah berulang kali ditayangkan. Kalau melihat gaya berpakaian dan potongan rambut aktor dan aktris di dalamnya, kita sudah dapat menebak bahwa film itu diproduksi beberapa tahun bahkan mungkin belasan tahun yang lalu.

Kecewa. Itulah yang saya rasakan dengan perkembangan televisi Indonesia sekarang ini. Televisi sebagai sarana yang paling efektif dalam menyampaikan informasi pada masyarakat seharusnya juga bisa menjadi sarana pendidikan. Menghasilkan generasi muda yang berpikiran luas tidak hanya bergantung dari lembaga pendidikan formal maupun informal. Televisi juga dapat memberi masukan sedikit demi sedikit (yang akan menjadi besar nantinya) dalam perkembangan pemikiran generasi muda. Tayangkanlah juga berita-berita dunia sehingga mata masyarakat dapat lebih terbuka, tidak picik. Mengenai film, bukannya tidak cinta produksi dalam negeri, tapi alangkah baiknya kita juga membuka diri dengan menayangkan film-film atau tayangan musik dari luar negeri. Padahal dengan menayangkan produk-produk luar dapat membuat para produsen film dan musik dapat membandingkan selera publik dan menjadi terpacu untuk lebih baik lagi. Di atas langit masih ada langit. Jangan beranggapan semua yang kita hasilkan adalah yang terbaik. Ingat, tidak semua tayangan luar negeri buruk bagi perkembangan generasi muda. Menghalangi informasi bagi mereka justru lebih buruk.



oleh Retno Damayanti

Sabtu, 21 Maret 2009

daSar Lighting

Dasar Lighting

Ada tiga dasar tata cahaya :

Key Light = Cahaya Kunci / sumber Cahaya Utama

Yaitu dimana cahaya yang harus dipossisikan pertama kali. Sifatnya keras. Biasanya diposisikan lebih tinggi dari obyek atau talent dan juga bisa dari samping.

Fill light (= cahaya pengisi

Cahaya yang digunakan sebagai pengisi bagian yang terlihat gelap dan juga berfungsi untuk mengurangi bayangan obyek yang terlalu pekat efek dari key light. Sifatnya lembut.

Back light (= cahaya belakang

Cahaya yang digunakan sebagai pemisah antara subyek dengan background. Back light dapat terlihat ditepian subyek yang tersinari , cahayanya bisa terlihat terang atau jelas dan lebih halus.

Sifat cahaya

Sifat cahaya

Hard Light

Hard Light adalah cahaya yang memiliki sifat keras dan contohnya apa yang kita lihat cahaya matahari saat siang hari.Ini datang langsung dari satu sumber cahaya.Karena berasal dari satu sumber cahaya mk cahaya ini menimbulkan banyak bayangan yang pekat

Soft Light

Soft Light adalah cahaya yang memiliki sifat halus atau lembut. Yang biasanya dapat kita lihat di daerah-daerah pertokoan dengan menggunakan lampupijar atau TL. Dan sifatnya menyebar dan mengurangi bayangan subyek

Cara membuat Soft Light :

1. Memberikan filter di depan cahaya yang keras

2. Memantulkan dengan bantuan reflektor

Hal-hal yang harus dilakukan seorang Lightingman terlebih dahulu :

1. Mengetahui apa saja yang harus dibawa saat akan shooting

2. Mengenal dan memahami alat-alat serta penggunaannya

3. Memahami lokasi shooting

4. Koordinasi dengan DOP

Jumat, 06 Maret 2009

1st time

hwaa .

ne bwt blog..di suru pak noVin
huhu
tingkyuw pak..
jd gag gaptek ne .